Jumat, 23 September 2011

HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD


Berdasarkan jumlah perawinya, maka hadits dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
A.      HADITS MUTAWATIR
1.       PENGERTIAN HADITS MUTAWATIR
Mutawatir, menurut bahasa, berarti : suatu yang datang secara beriringan , tanpa ada perselangan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian hadits mutawatir menurut bahasa adalah : hadits yang datang secara beriringan, tanpa perselangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Muhammad  Alawi Al-Maliki  dalam bukunya Qowaa’idul Asaasiyah fi ‘ilmi Mustholahul Hadits memberikan batasan bahwa hadits mutawatir adalah :
المتَوَاتِر هُوَ مَا رَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ , بلاَ حَصْرٍ بِحَيْثُ يَبْلُغُوْنَ حَدَّا تَحِيْلُ العَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الكَذِبِ, بِشرْطِ اَنْ يَكُوْنَ مُسْنَدُ اِنْتِهَائِهِمُ الحِسَّ اَوْ السِمَاعِ.
Artinya :
Hadits  Al Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi dari sejumlah besar rawi , tanpa batas yang jumlah mereka itu menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat dusta, dengan syarat hadits tersebut hasil dari tangkapan penglihatan atau pendengaran mereka.
Kebanyakan ulama memberikan definisi, bahwa hadits mutawatir adalah Hadits tentang sesuatu yang mahsus (yang dapat ditangkap oleh panca indera), yang disampaikan oleh sejumlah besar rawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta
2.       SYARAT – SYARAT HADITS  MUTAWATIR
فَشُرُوْطُهُ اَرْبَعَةٌ :
1) كَثْرَةُ العَدَدِ         
2) اِحَالَةُ العَادَةِ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الكَذَبِ       
3) وُجُودُ تِلْكَ الكَثْرَةِ مِنَ الاِبْتِدَاءِ الى الاِنْتِهَاءِ,
4) اَنْ يكُوْنَ مُسْتَنَدُ اِنْتِهَائِهِمُ الحِسُّ .
Syarat Hadits Mutawatir itu ada 4 (empat).
a.    Jumlah perawinya banyak.
b.    Menurut  adat  mustahil para perawi itu sepakat untuk berbuat bohong.
c.     Jumlah perawi yang banyak itu mulai permulaan hingga akhir sanad.
d.    Sandaran berita mereka (hadits) adalah tangkapan indera, penglihatan atau pendengaran.
Bila suatu hadits terbukti memenuhi syarat-syarat tersebut, maka hadits itu dimasukkan dalam kelompok hadits mutawatir dan itu berarti bahwa hadits itu pasti (qoth’I atau maqthu’) berasal dari Rasulullah saw. Dengan  kata lain, sedikitpun tidak diragukan  lagi bahwa sabda, perbuatan atau sikap  yang disampaikan para Rawi yang banyak itu adalah sungguh-sungguh sabda, perbuatan atau sikap Rasulullah saw.
3.       MACAM-MACAM HADITS MUTAWATIR
Hadits mutawatir dibedakan menjadi 2 (dua), mutawatir lafdzi (bi al-lafdzi) dan mutawatir maknawi (bi al-makna).
HADITS MUTAWATIR LAFDZI (Bi Al-Lafdzi) .
Hadits mutwatir lafdzi adalah hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula.
Muhammad Al ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikan hadits mutawatir lafdzi sebagai berikut :
مَا رَوَاهُ بِلَفْظِهِ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ لاَ يَتَوَهَّمُ عَلَى الكَذِبِ مِنْ اَوَّلِهِ الِى مُنْتَهَاهُ .
Hadits yang diriwayatkan secara lafal dari banyak orang yang mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sampai akhir sanad ”.
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka syarat hadits mutawatir lafdzi adalah :
1.       Dari segi sanad harus banyak periwayat yang meriwayatkan sejak awal sampai akhir sanad.
2.      Matan hadits yang diriwayatkan menggunakan redaksi yang sama. Maka tidak banyak hadits yang diriwayatkan dengan cara ini.
Juga dikategorikan haditrs mutawatir lafdzi, hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya ( kata – kata yang berbeda, tetapi makna dan maksudnya sama) , sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.
Dari hasil penelitian para ulama’ mereka sampai pada kesimpulan bahwa :
1.       Tidak ada hadits mutawatir lafdzi ( pendapat Ibnu Hibban dan Al Khazimi ).
2.       Jumlah hadits mutawatir lafdzi sangat sedikit sehingga sukar diketemukan contohnya selain hadits tentang ancaman Rasulullah terhadap orang yang mendustakan  sabdanya dengan ancaman neraka ( pendapat Ibnu Shalah dan Al Nawawi ).
3.       Hadits mutawatir lafdzi memang sedikit tapi bukan sangat sedikit apalagi tidak ada.
Pendapat bahwa hadits mutawatir lafdzi sangat sedikit atau bahkan tidak ada itu terjadi karena kurangnya pengetahuan tenang jalan-jalan atau keadaan-keadaan para periwayat serta sifat-sifat yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

HADITS MUTAWATIR MAKNAWI ( Bi Al-makna ) .
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang mutawatir maknanya saja bukan lafadznya. Hadits mutawatir jenis ini disepakati penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda. Muhammad ‘Ajjaj al Khathib mendefinisikan hadits mutawatir maknawi sebagai berikut :
مَا اِتَّفَقَ نَقْلَتُهُ عَلَى مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ مُطَابِقَةٍ فِى اللَفْظِ .
Hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak ”.

Contoh hadits mutawatir  maknawi adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’ayang diriwayatkan dalam lebih dari seratus hadits, meskipun redaksi hadits berlainan tetapi isinya sama.
Demikian pula hadits tentang rukyat, bilangan rakaat dalam shalat , membaca al qur’an dengan jahr pada waktu shalat maghrib, isya’ dan subuh, thawaf di baitullah, melempar jumrah, melakukan sa’I dan manasik haji lainnya.

3.       CONTOH HADITS MUTAWATIR.
a. Contoh hadits mutawatir lafdzi
مَنْ كَذّبَ عَلَيّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّءُ مَقْعَدَهُ مَنَ النَار
Barang siapa berbuat kebohongan atas namaku dengan  senganja, makaa hendaklah ia menempati tempatnya di neraka ”.

مُسْــلِم






















Menurut Al-Bazzar, Hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama’ mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.
b.  Contoh hadits mutawatir maknawi.
Misalnya tentang hadits mengangkat tangan ketika berdo’a :
مَا رَفَعَ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يَدَيْهِ حَتّى رُؤِيَ بيَاظُ اِبْطَيْهِ فِى شَيْئٍ مِن دُعَائِهِ الاّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ . مُتّفق عليه
“ Nabi Muhammad Saw. Tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’a beliau,selain dalam shalat istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya ”.

Hadits-hadits yang semacam ini, tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda.
َكَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَدْوَ مَنْكِبَيْهِ .
Rasulullah Saw. Mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau
4.       KEHUJJAHAN HADITS MUTAWATIR
Pengetahuan yang disampaikan pada hadits mutawatir, harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pancaindera. Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan didasarkan pada ilmu yang pasti, bukan berdasar pada prasangka dan bersifat apologis dan apriori. Dengan harapan, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, berita yang disampaikan oleh para perawi hadits itu dapat melahirkan keyakinan pada diri orang-orang yang mendengarkannya tentang kebenaran isi berita tersebut. Menurut Ibnu Taymiyah, orang yang telah meyakini ke – mutawatir- an  suatu hadits, waib mempercayai kebenarannya dan wajib mengamalkan sesuai dengan kandungan isinya. Sedang orang yang belun mengatahui ke – mutawatir – annya hendaklah mengikuti dan menyerahkan kepada orang yang telah menyepakati ke-mutawatir-an hadits tersebut.

B.      HADITS AHAD
1.       PENGERTIAN HADITS AHAD.
Ahad ( baca Aahaad ), menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka Aahaad  sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Sebagaimana dengan pengertian Hadits mutawatir, maka pengertian hadits ahad, menurutu bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, menurut para ulama. Batasan hadits ahad yaitu : hadits yang para perawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian Bahwa hadits dengan jumlah rawi  terserbut masuk dalam kelompok hadits mutawatir. Lebih singkat bisa dikatakan bahwa hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir.

2.       KLASIFIKASI / PEMBAGIAN HADITS AHAD.
a.    HADITS MASYHUR.
1). Pengertian hadits masyhur
Yang dimaksud dengan  hadits masyhur adalah :
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir .
Menurut ulama’ fiqh, hadits masyhur itu adalah muradlif dengan hadits mustafid, sedang ulama’ yang lain membedakannya. Yakni suatu hadits dikatakan mustafidl bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqat pertama sampapi denga thabaqat terakhir.
Sedangkan hadits masyhur lebih umum dari hadits mustafidh. Yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqat tidak harus selalu sama banyaknya atau seimbang. Karena itu dalam hadits masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqat pertama (sahabat), thabaqat kedua ( tabi’iy), Thabaqat ketiga ( tabi’it tabi’in ), dan thabaqat keempat (orang – orang setelah  tabi’it tabi’in), terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi dalam thabaqat kelima dan seterusnya banyak sekali.
Seperti hadits dibawah ini yang di takhrijkan oleh Bukhary – muslim dari sahabat Umar ra :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
(اِنَّمَا الاَعْمَلُ بِالنّـيّاتِ وَاِنّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى )
الطّبَقَةُ الرابع   : يَحْي بن سَعِيد الانْصَارى

عبد الوهَّاب
مَالِك
الليث
حَمَّاد
حَمَّاد
ابن المثَنّى
ابن مسلمة

مُحَمّد بن رمح
ابو الرابع
مسدّد
ابو النعمان
الحَمِيدى
مُسْلـم
البخَارِى

الطّبَقَةُ الاوّلُ   : عُمَربْن الخَطّاب
الطّبَقَةُ الثَانِى   : علقَمَة بن وَقَاص
الطّبَقَةُ الثَالث   : مَحَمد بن ابْرَهِيم التيمِى






















Hadits tersebut pada thabaqat pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada thabaqat kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada thabaqat ke tiga hanya diriwayatkan oleh Ibrahim At-Taimy sendiri dan pada thabaqat keempat hanya diriwayatka oleh Yahya bin Sa’id sendiri. Dari Yahya bin Sa’id inilah hadits diriwayatkan oleh orang banyak.
2). Macam-macam hadits masyhur.
Istilah masyhur yang diterapkan pada suatu hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadits menurut ketetapan diatas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat  suatu hadits yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli tertentu atau dikalangan masyarakat umum. Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada suatu hadits yang tidak bersanad sama sekalipun, dapat dikatakan hadits masyhur.
Dari segi ini, maka hadits masyhur dapat dibedakan menjadi :
a)   Masyhur dikalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
b)   Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan hadits-hadits saja, atau ahli fiqh aja, atau tasawwuf saja dan lain sebagainya.
c)    Masyhur diklalangan orang-orang umum saja.

b.    HADITS AZIZ.
Hadits aziz adalah :
مَا رَوَاهُ اثْنَانِ وَلَو كَانَ فِى طَبَقَةٍ وَاحَدَةٍ , ثُمّّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَالِكَ جَمَاعَةٌ .
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqat saja, kemudian setelah itu , orang-orang pada meriwayatkannya.
c.     HADITS GHORIB.